Di twitter, beberapa hari lalu, saya membaca seseorang posting demikian: 'dude, these jakartabeat guys really take themselves too seriously'. Posting sindiran semacam ini tidak sempat saya pikirkan dalam-dalam. Tapi, kemarin, seorang teman sesama mahasiswa asal Indonesia membelikan saya sebuah buku berjudul The Rolling Stone Interviews: the 1980s terbit tahun 1989, dengan kata pengantar dari Kurt Loder. Sebuah buku kumpulan interview majalah Rolling Stone Amerika lain sebelumnya telah saya miliki, "The Rolling Stone Interviews" yang terbit tahun 2007, dengan kata pengantar dari Jann Wenner.
Buku hadiah ini mengingatkan saya kembali pada posting twitter tadi. Mungkin orang itu benar, penulis-penulis Jakartabeat.net menimbang sesuatu dengan serius. Sejatinya, memang Jakartabeat.net sejak awal didesain untuk menjadi demikian. Dan desain itu dibuat bukan tanpa alasan, bukan pula untuk berlagak sok serius.
Kurt Loder dalam kata pengantarnya di buku ini, mengingatkan kembali alasan awal saya dan beberapa teman ketika memutuskan untuk mendirikan Jakartabeat.net dua tahun lalu. Kurt Loder menulis bahwa ketika majalah Rolling Stone Amerika pertama kali diterbitkan di akhir tahun 1960-an, ide memuat wawancara panjang dan mendalam adalah satu hal yang benar-benar baru. Rock and roll yang mulai berkembang di tahun 1950-an tidak dilahirkan dalam suasana intelektual. Kata Kurt, tidak ada orang yang pernah menanyakan apa pendapat Elvis Presley atau Little Richard tentang keadaan dunia atau pandangan mereka terhadap persoalan sosial.
Keriuhan revolusi budaya tahun 1960-an, perang Vietnam, dan lain-lain yang melekatkan rock and roll pada konteks sosial dan intelektual mengubah segalanya. Dan majalah Rolling Stone Amerika didirikan dengan sebuah kesadaran intelektual bahwa musik, khususnya rock and roll, adalah sesuatu yang bisa dikaji, dianalisis, dan dinikmati sekaligus.
Rolling Stone Amerika menarik perhatian barisan kontributor berpendidikan tinggi yang pada saat yang sama adalah pemadat musik yang paling gila. Saya tahu salah satu kontributor Rolling Stone Amerika adalah Profesor Sean Willentz dari Princeton University. Ia adalah profesor bidang sejarah. Sebuah tulisannya yang panjang (dan beberapa tulisannya yang lain) saya telan dengan rakus di halaman-halaman majalah Rolling Stone Amerika di sebuah edisi tahun 2008 ketika ia menguraikan berhalaman-halaman tentang konservatisme dan cerai berainya Partai Republik di Amerika. Ia sejarawan terkenal dan pada saat yang sama adalah pecandu rock and roll yang akut. Selain meneliti sejarah politik, ia juga menghabiskan waktu untuk menulis sejarah Bob Dylan.
Dalam buku yang baru saya peroleh ini ada sebuah interview panjang dengan Billy Joel (1986) yang dilakukan oleh Anthony De Curtis, senior writer di majalah Rolling Stone Amerika. Anthony DeCurtis adalah wartawan dengan gelar PhD bidang American Literature dari Indiana University.
Sebuah wawancara gila lain dilakukan oleh Robert Farris Thompson dengan David Byrne. David Byrne dengan Talking Heads-nya dikenal karena perhatiannya pada world music, khususnya bahwa Byrne tertarik dengan kultur Afrika. Dan Robert Farris Thompson adalah seorang profesor bidang African and Afro-American Art di Yale University. Pada saat yang sama, Robert Farris Thompson adalah penulis majalah Rolling Stone Amerika. Wawancaranya dengan David Byrne yang dimasukan dalam buku ini teramat sedap dibaca.
Seperti ditulis oleh Kurt Loder dalam kata pengantarnya, sejak tahun 1960-an dan seterusnya musik rock and roll mulai diramaikan oleh persona-persona yang tidak hanya memiliki talenta musik, namun juga memiliki kesadaran intelektual yang lebih matang. Rock and roll era 1960-an dan 1970-an digerakan oleh musisi-musisi yang duduk di sekolah seni (art schools), macam the Beatles, atau berbasis kampus seperti the Doors. Lou Reed sang mesin Velvet Underground kuliah di Syracuse University. Belakangan, ada juga Tom Morello yang kuliah di Harvard.
Majalah Rolling Stone Amerika membaca perubahan setting kultural dan intelektual dalam dunia rock and roll dengan cermat. Maka lahirlah ia di akhir tahun 1960-an untuk menuliskan rock and roll yang serius, bisa dikaji, dan bisa dianalisis, selain dinikmati tetek bengeknya (rock star anu suka ngopi dimana, gemar minur bir yang apa, berapa kali over dosis, dan printil-printil semacamnya). Format wawancara mendalam ala Rolling Stone Amerika menangkap itu semua.
Jurnalisme musik bukan lah cerita-cerita trivial tentang pengalaman seorang jurnalis musik bertemu rock stars atau selebriti yang ia wawancarai. Semisal minum teh bersama Paul McCartney di London, minum kopi di sebuah teras di Spanyol bersama Sean Connery, menjelajah gurun di Australia bersama David Bowie, menikmati langit sambil berbincang dengan Bob Dylan di Jerusalem, mabuk bersama Keith Richards, menguntit Sting di jalan-jalan berdebu kota Rio di Brasil dan semacamnya. Sebaliknya adalah bagaimana mencerminkan jarak antara penulis dengan para rock stars ini. Dalam bahasa Taufiq Rahman rekan saya di Jakartabeat.net, menjadi iconoclast, seperti Ibrahim memenggal kepala para berhala yang dipuja membabi buta.
Tugas jurnalisme musik adalah menangkap, menulis, merekonstruksi isi kepala para rock stars dan para selebriti. Wawancara dilakukan bukan untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui orang banyak atau menceritakan topik-topik dangkal. Akan tetapi, music writing dan interview dilakukan untuk mengetahui dimana tempat para musisi dan selebriti ini dalam konteks sosial dan kultural.
Yang juga penting adalah mencari tahu apakah mereka (rock stars dan selebriti) have something to say. Sudah semestinya itu semua harus dilakukan dengan serius oleh siapapun yang berminat mengembangkan jurnalisme musik di Indonesia. Jakartabeat.net adalah salah satunya. Dan buku The Rolling Stone Interviews: the 1980s ini akan menjadi salah satu sumber bagi kami di Jakartabeat.net untuk mempelajari bagaimana melakukannya dengan lebih baik. Semoga Jakartabeat.net berumur panjang...:-)
Philips Vermonte
Peneliti CSIS & Founder Jakartabeat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar