Rabu, 18 Mei 2011

Music Jurnalism

Di twitter, beberapa hari lalu, saya membaca seseorang posting demikian: 'dude, these jakartabeat guys really take themselves too seriously'. Posting sindiran semacam ini tidak sempat saya pikirkan dalam-dalam. Tapi, kemarin, seorang teman sesama mahasiswa asal Indonesia membelikan saya sebuah buku berjudul The Rolling Stone Interviews: the 1980s terbit tahun 1989, dengan kata pengantar dari Kurt Loder. Sebuah buku kumpulan interview majalah Rolling Stone Amerika lain sebelumnya telah saya miliki, "The Rolling Stone Interviews" yang terbit tahun 2007, dengan kata pengantar dari Jann Wenner.

Buku hadiah ini mengingatkan saya kembali pada posting twitter tadi. Mungkin orang itu benar, penulis-penulis Jakartabeat.net menimbang sesuatu dengan serius. Sejatinya, memang Jakartabeat.net sejak awal didesain untuk menjadi demikian. Dan desain itu dibuat bukan tanpa alasan, bukan pula untuk berlagak sok serius. 

Kurt Loder dalam kata pengantarnya di buku ini, mengingatkan kembali alasan awal saya dan beberapa teman ketika memutuskan untuk mendirikan Jakartabeat.net dua tahun lalu. Kurt Loder menulis bahwa ketika majalah Rolling Stone Amerika pertama kali diterbitkan di akhir tahun 1960-an, ide memuat wawancara panjang dan mendalam adalah satu hal yang benar-benar baru. Rock and roll yang mulai berkembang di tahun 1950-an tidak dilahirkan dalam suasana intelektual. Kata Kurt, tidak ada orang yang pernah menanyakan apa pendapat Elvis Presley atau Little Richard tentang keadaan dunia atau pandangan mereka terhadap persoalan sosial. 

Keriuhan revolusi budaya tahun 1960-an, perang Vietnam, dan lain-lain yang melekatkan rock and roll pada konteks sosial dan intelektual mengubah segalanya. Dan majalah Rolling Stone Amerika didirikan dengan sebuah kesadaran intelektual bahwa musik, khususnya rock and roll, adalah sesuatu yang bisa dikaji, dianalisis, dan dinikmati sekaligus.

Rolling Stone Amerika menarik perhatian barisan kontributor berpendidikan tinggi yang pada saat yang sama adalah pemadat musik yang paling gila. Saya tahu salah satu kontributor Rolling Stone Amerika adalah Profesor Sean Willentz dari Princeton University. Ia adalah profesor bidang sejarah. Sebuah tulisannya yang panjang (dan beberapa tulisannya yang lain) saya telan dengan rakus di halaman-halaman majalah Rolling Stone Amerika di sebuah edisi tahun 2008 ketika ia menguraikan berhalaman-halaman tentang konservatisme dan cerai berainya Partai Republik di Amerika. Ia sejarawan terkenal dan pada saat yang sama adalah pecandu rock and roll yang akut. Selain meneliti sejarah politik, ia juga menghabiskan waktu untuk menulis sejarah Bob Dylan.

Dalam buku yang baru saya peroleh ini ada sebuah interview panjang dengan Billy Joel (1986) yang dilakukan oleh Anthony De Curtis, senior writer di majalah Rolling Stone Amerika. Anthony DeCurtis adalah wartawan dengan gelar PhD bidang American Literature dari Indiana University.

Sebuah wawancara gila lain dilakukan oleh Robert Farris Thompson dengan David Byrne. David Byrne dengan Talking Heads-nya dikenal karena perhatiannya pada world music, khususnya bahwa Byrne tertarik dengan kultur Afrika. Dan Robert Farris Thompson adalah seorang profesor bidang African and Afro-American Art di Yale University. Pada saat yang sama, Robert Farris Thompson adalah penulis majalah Rolling Stone Amerika. Wawancaranya dengan David Byrne yang dimasukan dalam buku ini teramat sedap dibaca.

Seperti ditulis oleh Kurt Loder dalam kata pengantarnya, sejak tahun 1960-an dan seterusnya musik rock and roll mulai diramaikan oleh persona-persona yang tidak hanya memiliki talenta musik, namun juga memiliki kesadaran intelektual yang lebih matang. Rock and roll era 1960-an dan 1970-an digerakan oleh musisi-musisi yang duduk di sekolah seni (art schools), macam the Beatles, atau berbasis kampus seperti the Doors. Lou Reed sang mesin Velvet Underground kuliah di Syracuse University.  Belakangan, ada juga Tom Morello yang kuliah di Harvard. 

Majalah Rolling Stone Amerika membaca perubahan setting kultural dan intelektual dalam dunia rock and roll dengan cermat. Maka lahirlah ia di akhir tahun 1960-an untuk menuliskan rock and roll yang serius, bisa dikaji, dan bisa dianalisis, selain dinikmati tetek bengeknya (rock star anu suka ngopi dimana, gemar minur bir yang apa, berapa kali over dosis, dan printil-printil semacamnya). Format wawancara mendalam ala Rolling Stone Amerika menangkap itu semua. 

Jurnalisme musik bukan lah cerita-cerita trivial tentang pengalaman seorang jurnalis musik bertemu rock stars atau selebriti yang ia wawancarai. Semisal minum teh bersama Paul McCartney di London, minum kopi di sebuah teras di Spanyol bersama Sean Connery, menjelajah gurun di Australia bersama David Bowie, menikmati langit sambil berbincang dengan Bob Dylan di Jerusalem, mabuk bersama Keith Richards, menguntit Sting di jalan-jalan berdebu kota Rio di Brasil dan semacamnya. Sebaliknya adalah bagaimana mencerminkan jarak antara penulis dengan para rock stars ini. Dalam bahasa Taufiq Rahman rekan saya di Jakartabeat.net, menjadi iconoclast, seperti Ibrahim memenggal kepala para berhala yang dipuja membabi buta.

Tugas jurnalisme musik adalah menangkap, menulis, merekonstruksi isi kepala para rock stars dan para selebriti. Wawancara dilakukan bukan untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui orang banyak atau menceritakan topik-topik dangkal. Akan tetapi, music writing dan interview dilakukan untuk mengetahui dimana tempat para musisi dan selebriti  ini dalam konteks sosial dan kultural.

Yang juga penting adalah mencari tahu apakah mereka (rock stars dan selebriti) have  something to say. Sudah semestinya  itu semua harus dilakukan dengan serius oleh siapapun yang berminat mengembangkan jurnalisme musik di Indonesia. Jakartabeat.net adalah salah satunya. Dan buku The Rolling Stone Interviews: the 1980s ini akan menjadi salah satu sumber bagi kami di Jakartabeat.net untuk mempelajari bagaimana melakukannya dengan lebih baik. Semoga Jakartabeat.net berumur panjang...:-)

Philips Vermonte
Peneliti CSIS & Founder Jakartabeat 

Menulis Musik Adalah Menulis Tentang Manusia

M. Taufiqurrahman
taufiq@jakartabeat.net

Menulis tentang musik sangatlah mudah. Jadi jangan percaya kepada siapapun yang mengatakan bahwa menulis musik dan jurnalisme musik adalah sesuatu yang mustahil. Siapapun yang mengatakan menulis tentang musik adalah seperti menari demi arsitektur (writing music is like dancing to architecture) sebenarnya sedang menilai keterampilan menulis mereka terlalu tinggi.

Siapa saja bisa menulis tentang musik—dan ini ditunjukkan oleh betapa banyaknya zine, webzines, blogs, Facebook notes, website sampai majalah professional yang mendedikasikan dirinya hanya untuk menulis tentang musik. Yang dibutuhkan tidak banyak. Anda cukup menjadi pecinta musik—dan semua orang adalah pecinta musik—penggemar sebuah atau beberapa kelompok musik, dan anda bisa menjadi penulis yang fasih yang mampu bercerita tentang gitar solo yang menyayat, ketukan drum yang kompleks sampai lengkingan suara yang membahana dari sang vokalis.

Jika anda rajin membaca majalah Spin, NME atau Rolling Stone, tulisan anda bisa menjadi semakin kaya dengan membubuhkan tarikh dari band-band legendaris kesukaan anda, lengkap dengan kata-kata bijak dari sang vokalis atau penulis lirik, siapa yang merancang cover art album legendaris mereka sampai gosip terbaru tentang akan di mana band tersebut akan manggung berikutnya (Sampai pada taraf tertentu kami di Jakartabeat masih harus melakukannya. Pilihan kami terbatas karena beginilah keadaan jurnalisme musik selama hampir 40 tahun terakhir). Dan jika anda sering membaca pitchfork.com, anda bisa banyak menggunakan kata ironi, hip dan “air quote.”

Dan jika anda pernah sedikit saja sekolah atau kursus musik, tulisan anda bisa menjadi semakin otoritatif dengan munculnya kata-kata sulit semacam odd time signature, syncopated drum pattern, pizzicato atau Simfoni Kelima Beethoven dimulai dengan tiga G dan E-flat serta referensi-referensi susah yang hanya akan dimengerti oleh teman satu semester anda di sekolah seni. (Kami di Jakartabeat tidak bisa mencegah hal ini untuk terjadi. Kadang seorang penulis memang perlu memberi tahu kepada pembaca bahwa dia punya otoritas penuh atas apa yang sedang dibicarakannya dan dengan mengutip istilah teknis tersebut diharapkan akan semakin kuat kredensial si penulis.)

Namun terus terang itu semua bukan menjadi tujuan utama kami. Bagi kami—atau paling tidak saya—semua itu mengutip Bung Karno hanyalah abu dan bukan api dari musik. Atau mengutip Alex Ross sekali lagi, semua hal di atas adalah hocus pocus, bla bla bla omong kosong tentang musik. Dan tugas kami sebagai penulis itu adalah “try to demistify the art to some extent, dispel the hocus pocus, while respecting the boundless human complexity that gives it life.”

Dan inilah yang kemudian membuat menulis musik menjadi tugas yang sulit dan lebih dari hanya sekedar menari tentang arsitektur. Terlalu mudah untuk menulis Kurt Cobain mati karena overdosis atau odd time signature dari The Mars Volta, misalnya ketimbang menulis tentang pengaruh kemenangan Ekonomi Neo-liberal dari era Reagan dalam menghasilkan apatisme yang kemudian membuat kehamilan grunge atau pengaruh sindrom korban incest pada Omar-Rodriquez Lopes bisa menghasilkan musik sesulit The Mars Volta atau segarang At the Drive In.

Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk meninterprestasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen yang berbeda. Menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya menulis tentang manusia.

Menulis tentang musik menjadi semakin sulit lagi karena seiring dengan revolusi industri, musik menjadi sesuatu yang politis. Dalam Listen To This, Alex Ross sekali lagi bahwa “sejak pertengahan abad ke 19, audiens secara rutin telah mengadopsi musik sebagai semacam agama sekuler atau politik spiritual, mendedahkan makna dan pesan yang penting namun sekaligus kabur.”

Para pecinta simfoni Beethoven tentu akan segera mengaitkan karya-karya besarnya dengan janji akan kebebasan politik, ini ketika musik klasik masih memiliki elan vital, lama sebelum masuk ke museum.

Wagner dengan Das Judenthum in der Musik, pertanyaan tentang ke-Yahudi-an dalam musik, dengan segera mengkaitkan superioritas ras dengan keagungan musik, apakah kehadiran komposer-komposer Yahudi membawa pengaruh buruk terhadap musik Barat. Tidak mengherankan jika opera-opera Wagner dengan mudah membangkitkan imajinasi para penyair sekaligus demagog (Hitler adalah salah satu fans terbesar Wagner).

Di era yang lebih dekat dengan kita ada The Velvet Underground yang membalikkan punggung terhadap bunga dan cinta dari Pantai Barat Amerika Serikat di pertengahan dekade 1960-an yang kemudian menjadi inspirasi bagi punk New York untuk tidak hanya menolak bunga dan cinta, namun apapun yang ditawarkan oleh kemapanan.

Di Bandung sendiri, musik pernah dan akan selalu dekat dengan politik dimulai dari Shark Move bercerita tentang pogrom terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), Deddy Dores di Freedom of Rhapsodia dengan semangat anti-pemerintah (Orde Baru) yang sangat libertarian sampai musik perlawanan Homicide semua adalah bukti betapa musik dan politik begitu dekat dan oleh karenanya membuat menulis musik menjadi relatif lebih sulit.

Kami di Jakartabeat.net tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa kami telah berhasil melakukanya—mendemistifikasi seni (musik), menguliti omong kosongnya dengan tetap menghargai kompleksitas manusia yang memberinya hidup.

Yang paling jauh bisa kami lakukan adalah, menghargai kompleksitas itu. Dan sebagai bagian dari jurnalisme, namun kami selalu mempertahankan rasa curiga dan kritis terhadap bentuk seni musik apapun yang kami terima. Musik jurnalis memiliki fungsi untuk menjadi pihak pertama yang mengacungkan jari untuk mengajukan pertanyaan. Yang inipun juga menjadi sulit karena dalam ranah musik pop, sangat sulit untuk membedakan menjadi fan dan kritik musik.

Musik sama seperti hasil kebudayaan yang lain. tidak hadir dari ruang kosong dan apapun yang kami tulis di Jakartabeat sebisa mungkin adalah menyusun kembali, merekonstruksi suasana yang memungkinkan karya seni itu dihasilkan. Analisa Idhar Resmadi tentang Sajama Cut—jika masih bisa saya ingat dengan baik—adalah upaya untuk merekonstruksi Sajama Cut sebagai bagian dari kelas menengah baru di Jakarta yang terbiasa berbicara dengan idiom-idiom musik maupun verbal dari moda produksi kapitalisme global. Atau tulisan Fakhri Zakaria tentang Bangkutaman, tulisan ini juga meletakkan Bangkutaman sebagai kolektif dari individu-individu yang ada pada pusaran zaman serta mobilitas sosial di metropolis di periferi kapitalisme global semacam Jakarta. Dengan cara pandang semacam itu tulisan-tulisan tersebut tentu akan sulit gagal untuk menjadi pisau analisa sosial. Dan anda bisa menemukan banyak contoh tulisan di Jakartabeat.

Dan untuk inipun kami belum tentu dan tidak harus benar. Dalam menulis musik kita dikutuk untuk menjadi “presumptuous in the case of the living and speculative in the case of the dead.” Semua adalah perkiraan dan prakiraan dan seperti analisa sosial yang lain kami bisa menjadi salah. Sepuluh tahun dari sekarang ulasan dan tulisan kami bisa menjadi tidak relevan. Tapi seperti kata Pram, paling tidak kami sudah memberi kesaksian dan hanya itulah yang abadi.

Dan bahkan ketika kami tidak berhasil untuk menyusun kembali teka-teki suasana sosial—yang mungkin memang tidak mungkin mengingat hanya sedikit informasi yang bisa dianalisa dari musik atau produk budaya tertentu—kami tetap tidak perlu terlalu larut dalam hingar-bingar industri pop yang tidak perlu—dan yang pasti di Jakartabeat anda tidak akan menemukan tips untuk bisa menjadi superstar atau band berumur panjang dan makmur.

Dan di atas semua itu, Jakartabeat.net—dan siapapun yang merasa dirinya sebagai musik snob, termasuk saya—tulisan tentang musik, sama dengan mendengarkan dan mencintai musik adalah bukti perayaan akan musik sebagai bentuk kesenian adi luhung. Seberapa adi luhung, saya akan mengutip tulisan ini dengan kutipan dari penulis Daniel J. Levittin, profesor neuro-science yang mantan produser musik itu di buku World in Six Songs:

Music is not simply a distraction or a pastime, but core element of our identity as a species, an activity that paved the way for more complex behaviors such as language, large-scale cooperative undertakings and the passing down of important information from one generation to the next.

*tulisan ini dibuat dalam rangka bedah buku “Like This: Kumpulan Tulisan Jakartabeat 2009-2010” dengan tema “Jurnalisme Musik dan Relevansinya Sebagai Media Kritik Sosial”, Commonroom, 16 April 2011.


Senin, 16 Mei 2011

Happy Birthday KMF!

Hell yeah! We're celebrated our birthday on March 2nd at our small home sweet home a.k.a Sekre. This ain't a big party with kind of fancy food or somethin, we're not dressed up like people usually go to birthday bash. It's more like how we chill together, talk and share together, laugh, and so on.
Lets check these pictures out...
































Theres a lot of another pictures you can see on our facebook page. The link is on the top guys, just klick it!
So.. Thats all we've got, Happy birthday to our great and amazing comunity. Long last, and we're also pray for our success. Hopefully the more severe from year to year. Hopefully we can load the fantastic events in the future. Move on local music. We love KMF like we love ourselves. We couldn't live without KMF like we couldn't live without music.

Kamis, 05 Mei 2011

About us

KMF ( Komunitas Musik Fikom ) adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa yang terdapat di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Kami tidak hanya terdiri dari sekumpulan mahasiswa yang memliki kesamaan dalam kegemaran bermain musik, kami pendengar, pelaku, dan memiliki antusias yang cukup baik untuk membuat event-event dimana musik dapat terlihat begitu menyenangkan. KMF terbentuk pada 2 Mei 1998, dimana di dalam komunitas ini kami belajar untuk menjaga kebersamaan, menghargai pendapat orang lain dan menjaga loyalitas dalam nama musik. Karena bagi kami "music is our comfort zone".